Sabtu, 11 Mei 2013

TUGAS 2 HUKUM PERBURUHAN

ALIH TEKNOLOGI

 Perkara alih teknologi sama sekali bukan hal yang sederhana. Dalam Prisma no. 4, April 1987,
 Todung Mulya Lubis menyatakan beberapa dilema alih teknologi yang dihadapi oleh Negara
 Dunia Ketiga, antara lain:

 Dilema pertama, teknologi itu bukan sesuatu yang murah. Dilema terletak pada sejauh mana
 Negara Dunia Ketiga bersedia membayar harga teknologi yang cukup mahal itu. Sejauh mana
 Negara Dunia Ketiga memprioritaskannya di tengah kebutuhan lain yang mendesak dipenuhi.
 Parahnya, penentuan harga jual hampir mutlak terletak pada tangan pemilik teknologi.
 Pembeli hanya diberi pilihan membeli atau tidak sama sekali. Teknologi seringkali dijual
 secara paket, di mana paket tersebut dengan segala perekatnya (tie-in) secara sepihak sering
 sengaja dimahalkan. Untuk industri tinggi, pembelian teknologi secara terpisah (partial) hampir
 mustahil.

 Dilema kedua adalah pada satu pihak Negara Dunia Ketiga ingin memelihara dan mempertahankan
 kemerdekaan, tetapi di pihak lain, dengan alih teknologi ini bukan mustahil negara akan melepaskan
 sebagian kemerdekaan tersebut. Sangat besar kemungkinan, teknologi yang dimasukkan tersebut
 menimbulkan ketergantungan teknologi (technological dependency). Hal ini tidak sehat bagi
 perekonomian Negara Dunia Ketiga. Negara Dunia Ketiga sekadar menjadi sandera dari
 pemasaran teknologi asing. Negara-negara maju dan perusahaan multinasional akan menjadikan
 kekayaan negara berkembang sebagai sasaran pemasaran teknologinya.

 Dilema ketiga adalah apabila ketergantungan teknologi ini sudah semakin tinggi, maka kreativitas
 masyarakat dan anak sekolah akan merosot. Kemalasan untuk bersusah payah pun muncul.
 Akibat yang paling jelek adalah berkurangnya lapangan pekerjaan sehingga terjadi pemutusan
 hubungan  kerja (PHK) dan meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan. Inilah wajah
 tidak manusiawi dari alih teknologi.
 Selain dilema-dilema yang dihadapi sebagaimana yang tercantum di atas, dalam alih teknologi
 itu sendiri sebenarnya mengandung pertentangan nilai yang tak terelakkan, seperti yang ditunjukkan
 oleh Denis Goulet (1977) berikut:
 Teknologi dianggap sebagai pedang bermata dua, sebagai pengembang sekaligus penghancur
 nilai-nilai. Dalam hal ini, alih teknologi dari Barat tentu saja membawa serta nilai-nilai dan
 pandangan hidup barat.
  • Nilai pertama adalah rasionalitas. Dalam sudut pandang teknologi Barat, yang dimaksud
    rasional adalah melihat segala permasalahan dapat dipecah-pecah menjadi bagian-bagian,
    disusun kembali, dimanipulasi melalui cara-cara praktis, dan diukur dampak-dampaknya.
    Padahal, nilai-nilai tradisional Negara Dunia Ketiga banyak memasukkan aspek-aspek
    yang tidak mungkin dijawab melalui rasionalitas Barat semacam itu, dan nilai-nilai tradisional
    tersebut telah melekat dalam kehidupan masyarakat Negara Dunia Ketiga dan dipegang
    sebagai sebuah kepercayaan.
  • Nilai kedua adalah efisiensi. Efisiensi memiliki keterkaitan erat dengan konsep dari industri
    yaitu produktivitas. Naik turunnya efisiensi dapat diukur melalui tingkat produktivitas.
    Produktivitas menilai segala sesuatu dari hasil atau output, dibandingkan dengan input
    yang diperlukan untuk menghasilkannya. Produktivitas dihitung dari seberapa banyak
    produk bila dibandingkan dengan investasi yang dikeluarkan untuk tenaga kerja, modal,
    mesin, dan waktu.
  • Nilai ketiga adalah mengutamakan pemecahan masalah secara teknis tanpa memperhatikan
    aspek alam atau manusiawi. Inginnya segala sesuatu dapat diselesaikan, sehingga tidak
    memberi waktu terhadap kontemplasi dan harmonisasi dengan alam. Juga mengembangkan
    perilaku acuh, pasif, dan penolakan terhadap masalah-masalah yang dihadapi.
  • Nilai keempat adalah menganggap kekuatan alam sebagai objek yang harus dipergunakan
    untuk sebesar-besar kepentingan manusia. Padahal sebagian besar nilai-nilai tradisional
    sangat mengutamakan hubungan yang harmonis dengan alam untuk menghindari dampak
    buruk yang dapat ditimbulkan.

   Demikianlah terjadi berbagai pertentangan nilai dalam alih teknologi, tetapi tetap saja Negara
   Dunia Ketiga menutup mata dan bersikukuh untuk melakukan alih teknologi.
         Jenis-jenis Alih Teknologi
                   Alih teknologi sering secara sembrono diartikan sebagai proses untuk menjadikan
   Negara Dunia Berkembang ikut menguasai teknologi sebagaimana yang terjadi pada negara
   maju. Tetapi, sesungguhnya bagaimanakah cara teknologi tersebut dialihkan?
   Yang dimaksud dengan alih teknologi sebenarnya tak lain dan tak bukan adalah transaksi
   ekonomi untuk kepentingan dagang.
                  Ini terlihat dari jenis-jenis dan cara-cara alih teknologi. Korporasi transnasional
   menjadi aktor kunci dalam proses ini. Anthony I. Akubue “Technology Transfer: A Third
   World Perspective” menjelaskan jenis-jenis alih teknologi. Yang sering terjadi antara lain:
                  Foreign Direct Investment, yaitu investasi jangka panjang yang ditanamkan
   oleh perusahaan asing. Investor memegang kendali atas pengelolaan aset dan produksi.
   Untuk menarik minat investor asing, Negara Dunia Ketiga menjalankan berbagai kebijakan
   seperti liberalisasi, privatisasi, menjaga stabilitas politik, dan meminimalkan campur tangan
   pemerintah. Padahal, kepemilikan asing atas modal sama saja dengan membentangkan jalan
   lebar menuju keuntungan dan pelayanan bagi korporasi transnasional. Mereka
   mengeksploitasi banyak keuntungan dengan resiko yang ditanggung oleh Negara Dunia
   Ketiga. Bayangan mengenai terjadinya alih teknologi dan pengembangan teknologi
   pribumi dirasakan sebagai impian yang terlalu muluk.
                  Joint Ventures, yaitu kerjasama (partnership) antara perusahaan yang berasal
  dari negara yang berbeda dengan tujuan mendapat keuntungan. Dalam model seperti ini,
  kepemilikan diperhitungkan berdasarkan saham yang dimiliki. Jenis alih teknologi ini
  menjadi menarik sebab perusahaan-perusahaan asing dapat menghindari terjadinya
  nasionalisasi atas perusahaan. Perlu diketahui bahwa dalam model FDI
  (Foreign Direct Investment) resiko terjadinya nasionalisasi secara tiba-tiba adalah
  cukup tinggi. Selain itu investor asing juga merasa riskan bila harus melakukan
  joint ventures dengan perusahaan nasional Negara Dunia Ketiga.
                  Licensing Agreements, yaitu izin dari sebuah perusahaan kepada perusahaan-
  perusahaan lain untuk menggunakan nama dagangnya (brand name), merek, teknologi,
  paten, hak cipta, atau keahlian-keahlian lainnya. Pemegang lisensi harus beroperasi
  di bawah kondisi dan ketentuan tertentu, termasuk dalam hal pembayaran upah dan royalti.
  Biasanya cara ini digunakan oleh perusahaan asing dengan mitra Negara Dunia Ketiga.
  Cara ini adalah yang paling memungkinkan terjadinya alih pembayaran atau larinya
  modal dari Negara Dunia Ketiga kepada perusahaan-perusahaan asing.
                 Turnkey Projects, yaitu membangun infrastruktur dan konstruksi yang diperlukan
 perusahaan asing untuk menyelenggarakan proses produksi di Negara Dunia Ketiga.
 Bila segala fasilitas telah siap dioperasikan, perusahaan asing menyerahkan ‘kunci’
 kepada perusahaan domestik atau organisasi lainnya. Perusahaan asing juga menyelenggarakan
 pelatihan pekerja dalam negeri agar suatu saat dapat mengambil alih segenap proses produksi
 yang dibutuhkan. Kecil kemungkinan terjadi alih teknologi sebab perusahaan domestik hanya
 bisa mengoperasikan tanpa mengerti kepentingan pengembangan teknologi tersebut.
 Perusahaan domestik juga tidak bisa membangunnya, sehingga peran mereka sekadar
 menjadi budak suruhan.
                Mengingat watak dasar perusahaan (termasuk korporasi transnasional) yang
 mengutamakan pencarian laba sebagai motif kepentingannya, cita-cita pembebasan
 kemanusiaan melalui teknologi menjadi kepentingan nomor sekian.
 Adakah Alih Teknologi?
                Kenyataan semacam itu tentu membuyarkan mimpi Negara Dunia Ketiga
 mengenai proses yang disebut sebagai ‘alih teknologi’. Dalam tulisan yang sama di Prisma,
 Todung Mulya Lubis merasa perlu mempertanyakan ulang, benarkah alih teknologi
 sedang terjadi? Jika jawabannya adalah tidak, maka apakah yang sesungguhnya
 sedang terjadi? Argumen yang mendasari pertanyaan tersebut antara lain adalah:
  • Pertama, belum adanya UU Paten yang mengatur apakah teknologi yang masuk setelah
    jangka waktu tertentu akan menjadi milik umum (public domain).
  • Kedua, berbagai kontrak yang dibuat PT PMA atau PT PMDN dengan perusahaan-
    perusahaan asing mengenai teknologi tersebut tidak menjamin terjadinya alih teknologi.
    Pengetahuan mengenai berbagai kontrak itu sangat miskin, tidak tahu apa saja isi
    kontrak-kontrak tersebut karena tidak ada kewajiban untuk mengumumkan isi kontrak
    itu kepada pemerintah, apalagi kepada umum.
  • Ketiga, kalaupun ada UU Paten dan kontrak-kontrak alih teknologi, hanya dijadikan
    sarana untuk masuk ke pasaran domestik. Pengusaha asing dengan berbagai upayanya mempertahankan patennya melalui berbagai modifikasi sehingga paten tersebut tidak
    jatuh menjadi public domain. Ada keengganan besar pada pemilik paten asing ini
    untuk mengalihkan teknologinya.
  • Keempat, mekanisme kontrol terhadap alih teknologi relatif lemah. Dan,
  • Kelima, mitra bisnis yang sepadan di dalam negeri belum cukup tersedia.

 Lalu, bila alih teknologi disangsikan telah terjadi, maka proses apakah sebenarnya yang
 tengah berlangsung dan digembar-gemborkan selama ini?

SUMBER : https://nadya.wordpress.com/tag/alih-teknologi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar