Sabtu, 11 Mei 2013

Tugas 3 Paper Hukum Perburuhan

DESAIN INDUSTRI

     Desain industri (bahasa Inggris: Industrial design) adalah seni terapan di mana estetika
 dan usability (kemudahan dalam menggunakan suatu barang) suatu barang disempurnakan.
 Desain industri menghasilkan kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau
 warna atau garis dan warna atau gabungannya, yang berbentuk 3 atau 2 dimensi, yang
 memberi kesan estetis, dapat dipakai untuk menghasilkan produk, barang, komoditas
 industri atau kerajinan tangan. Sebuah karya desain dianggap sebagai kekayaan
 intelektual karena merupakan hasil buah pikiran dan kreatifitas dari pendesainnya,
 sehingga dilindungi hak ciptanya oleh pemerintah melalui Undang-Undang No. 31
 tahun 2000 tentang Desain Industri. Kriteria desain industri adalah baru dan tidak
 melanggar agama, peraturan perundangan, susila, dan ketertiban umum.
 Jangka waktu perlindungan untuk desain industri adalah 10 tahun terhitung sejak
 tanggal penerimaan permohonan Desain Industri ke Kantor Ditjen Hak Kekayaan Intelektual.

    Desain Industri adalah cabang HKI yang melindungi penampakan luar suatu produk.
 Sebelum perjanjian TRIPS lahir, desain industri dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta.
 Namun karena perkembangan desain yang sangat pesat, maka perlu dibuatkan UU Khusus
 yang mengatur tentang desain industri.

    Sejarah Pengaturan Desain Industri
 Pengaturan tentang Desain Industri dikenal pada abad ke-18 terutama di Inggris
 karena adanya Revolusi Industri. Desain Industri awalnya berkembang pada sektor
 tekstil dan kerajinan tangan yang dibuat secara massal. UU pertama yang mengatur
 mengenai Desain Industri adalah "The designing and printing of linens, cotton,
 calicoes and muslin act" sekitar tahun 1787. Pada saat ini Desain Industri hanya dalam
 bentuk 2 Dimensi. Sedangkan Desain Industri dalam bentuk 3 (tiga) Dimensi mulai diatur
 melalui Sculpture Copyright Act 1798 pengaturannya masih sederhana hanya meliputi
 model manusia dan binatang. Lalu pada tanggal 20 Maret 1883 The Paris Convention
 for the Protection of Industrial Property (Paris Convention).

 Amanat pada pasal 5 Paris Convention menyatakan bahwa Desain Industri harus dilindungi
 di semua negara anggota Paris Convention.

 A. Waralaba
      Waralaba (Inggris: Franchising;Prancis: Franchise) untuk kejujuran atau kebebasan)
      adalah hak-hak untuk menjual suatu produk atau jasa maupun layanan.
      Sedangkan menurut versi pemerintah Indonesia, yang dimaksud dengan
      waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak memanfaatkan dan
      atau menggunakan hak dari kekayaan intelektual (HAKI) atau pertemuan dari
      ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan
      yang ditetapkan oleh pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan atau
      penjualanbarang dan jasa.

 Sedangkan menurut Asosiasi Franchise Indonesia, yang dimaksud dengan Waralaba ialah:

  Suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir,
  dimana pemilik merek (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan
  untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara-cara
  yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu.

Jenis-Jenis Waralaba
Waralaba dapat dibagi menjadi dua:
  • Waralaba luar negeri, cenderung lebih disukai karena sistemnya lebih jelas,
    merek sudah diterima  diberbagai dunia, dan dirasakan lebih bergengsi.
  • Waralaba dalam negeri, juga menjadi salah satu pilihan investasi untuk orang-orang
    yang ingin cepat menjadi pengusaha tetapi tidak memiliki pengetahuan cukup piranti
    awal dan kelanjutan usaha ini yang disediakan oleh pemilik waralaba

 Biaya waralaba
 Biaya waralaba meliputi:
  • Ongkos awal, dimulai dari Rp. 10 juta hingga Rp. 1 miliar. Biaya ini meliputi pengeluaran
     yang dikeluarkan oleh pemilik waralaba untuk membuat tempat usaha sesuai dengan
     spesifikasifranchisor dan ongkos penggunaan HAKI.
  • Ongkos royalti, dibayarkan pemegang waralaba setiap bulan dari laba operasional.
    Besarnya ongkos royalti berkisar dari 5-15 persen dari penghasilan kotor.
    Ongkos royalti yang layak adalah 10 persen. Lebih dari 10 persen biasanya adalah
    biaya yang dikeluarkan untuk pemasaran yang perlu dipertanggungjawabkan.

 Waralaba Di Indonesia
         Di Indonesia, sistem waralaba mulai dikenal pada tahun 1950-an, yaitu dengan
 munculnya dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi. Perkembangan kedua
 dimulai pada tahun 1970-an, yaitu dengan dimulainya sistem pembelian lisensi plus,
 yaitu franchisee tidak sekedar menjadi penyalur, namun juga memiliki hak untuk memproduksi
 produknya. Agar waralaba dapat berkembang dengan pesat, maka persyaratan utama
 yang harus dimiliki satu teritori adalah kepastian hukum yang mengikat baik bagi franchisor
 maupun franchisee. Karenanya, kita dapat melihat bahwa di negara yang memiliki kepastian
 hukum yang jelas, waralaba berkembang pesat, misalnya di AS dan Jepang.
 Tonggak kepastian hukum akan format waralaba di Indonesiadimulai pada tanggal
 18 Juni 1997, yaitu dengan dikeluarkannya  Peraturan.

 Pemerintah (PP) RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. PP No. 16 tahun 1997
 tentang waralaba ini telah dicabut dan diganti dengan PP no 42 tahun 2007 tentang Waralaba.
 Selanjutnya ketentuan-ketentuan lain yang mendukung kepastian hukum dalam format bisnis
 waralaba adalah sebagai berikut :
  •  Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 259/MPP/KEP/7/1997
    Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.
  • Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba
  • Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.
  • Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
  • Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.

 Banyak orang masih skeptis dengan kepastian hukum terutama dalam bidang waralaba
 di Indonesia. Namun saat ini kepastian hukum untuk berusaha dengan format bisnis waralaba
 jauh lebih baik dari sebelum tahun 1997. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya payung
 hukum yang dapat melindungi bisnis waralaba tersebut. Perkembangan waralaba di Indonesia,
 khususnya di bidang rumah makan siap saji sangat pesat. Hal ini ini dimungkinkan karena
 para pengusaha kita yang berkedudukan sebagai penerima waralaba (franchisee) diwajibkan
 mengembangkan bisnisnya melalui master franchise yang diterimanya dengan cara mencari
 atau menunjuk penerima waralaba lanjutan. Dengan mempergunakan sistem piramida atau
 sistem sel, suatu jaringan format bisnis waralaba akan terus berekspansi.
 Ada beberapa asosiasi waralaba di Indonesia antara lain APWINDO (Asosiasi Pengusaha
 Waralaba Indonesia), WALI (Waralaba & License Indonesia), AFI (Asosiasi Franchise
 Indonesia). Ada beberapa konsultan waralaba di Indonesia antara lain IFBM, The Bridge,
 Hans Consulting, FT Consulting, Ben WarG Consulting, JSI dan lain-lain. Ada beberapa
 pameran Waralaba di Indonesia yang secara berkala mengadakan roadshow diberbagai
 daerah dan jangkauannya nasional antara lain International Franchise and Business
 Concept Expo (Dyandra),Franchise License Expo Indonesia ( Panorama convex),
 Info Franchise Expo ( Neo dan Majalah Franchise Indonesia).

 B. Desain Tata Letak Sirkuit
      Desain tata letak sirkuit terpadu
  1. Sirkuit Terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang
    di dalamnya terdapat  berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen
    tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta
    dibentuk secara terpadu di dalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan
    untuk menghasilkan fungsi elektronik.
  2. Desain Tata Letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai
    elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta
    sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga
    dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu.
  3. Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara
    Republik Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk
    melaksanakan hak tersebut.
 Lisensi
 Pemegang Hak berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian
 Lisensi untuk melaksanakan semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,
 kecuali jika diperjanjikan lain.
  • Pasal 26
    Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25,
    Pemegang Hak tetap dapat melaksanakan sendiri atau memberi Lisensi kepada
    pihak ketiga untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,
    kecuali jika diperjanjikan lain.
  • Pasal 27
    1. Perjanjian Lisensi wajib dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Tata Letak Sirkuit
        Terpadu pada Direktorat Jenderal dengan dikenai biaya sebagaimana diatur dalam
        Undang-undang ini.
    2. Perjanjian Lisensi yang tidak dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Tata Letak
        Sirkuit Terpadu tidak berlaku terhadap pihak ketiga. Perjanjian Lisensi sebagaimana
        dimaksud dalam ayat (1) diumumkan dalam Berita Resmi Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
  Bentuk dan isi perjanjian lisensi
  1. Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang
    merugikan bagi perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan
    persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
    yang berlaku.
  2. Direktorat Jenderal wajib menolak pencatatan perjanjian Lisensi yang memuat ketentuan
    sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
  3. Ketentuan mengenai pencatatan perjanjian Lisensi diatur dengan Keputusan Presiden

  Pengalihan Hak
  1. Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dapat beralih atau dialihkan dengan:
    a. pewarisan;
    b. hibah;
    c. wasiat;
    d. perjanjian tertulis; atau
    e. sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan;
  2. Pengalihan Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu sebagaimana dimaksud dalam
    ayat (1) disertai dengan dokumen tentang pengalihan hak.
  3. Segala bentuk pengalihan Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu sebagaimana dimaksud
    dalam ayat (1) wajib dicatat dalam Daftar Umum Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
    pada Direktorat Jenderal dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam
    Undang-undang ini.
  4. Pengalihan Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu yang tidak dicatatkan dalam
    Daftar Umum Desain Tata Letak sirkuit Terpadu tidak berakibat hukum pada pihak ketiga.
  5. Pengalihan Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diumumkan dalam Berita Resmi Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.Pengalihan Hak
    Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu tidak menghilangkan hak Pendesain untuk tetap
    dicantumkan nama dan identitasnya, baik dalam sertifikat Desain Tata Letak Sirkuit
    Terpadu, Berita Resmi Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu maupun dalam Daftar Umum
    Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

  Dasar Perlindungan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
  • Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu


 SUMBER :
http://id.wikipedia.org/wiki/Desain_industri
http://www.mmionline.net/Pengertian-Waralaba.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Waralaba
http://www.dgip.go.id/memahami-desain-tata-letak-sirkuit-terpadu

TUGAS 2 HUKUM PERBURUHAN

ALIH TEKNOLOGI

 Perkara alih teknologi sama sekali bukan hal yang sederhana. Dalam Prisma no. 4, April 1987,
 Todung Mulya Lubis menyatakan beberapa dilema alih teknologi yang dihadapi oleh Negara
 Dunia Ketiga, antara lain:

 Dilema pertama, teknologi itu bukan sesuatu yang murah. Dilema terletak pada sejauh mana
 Negara Dunia Ketiga bersedia membayar harga teknologi yang cukup mahal itu. Sejauh mana
 Negara Dunia Ketiga memprioritaskannya di tengah kebutuhan lain yang mendesak dipenuhi.
 Parahnya, penentuan harga jual hampir mutlak terletak pada tangan pemilik teknologi.
 Pembeli hanya diberi pilihan membeli atau tidak sama sekali. Teknologi seringkali dijual
 secara paket, di mana paket tersebut dengan segala perekatnya (tie-in) secara sepihak sering
 sengaja dimahalkan. Untuk industri tinggi, pembelian teknologi secara terpisah (partial) hampir
 mustahil.

 Dilema kedua adalah pada satu pihak Negara Dunia Ketiga ingin memelihara dan mempertahankan
 kemerdekaan, tetapi di pihak lain, dengan alih teknologi ini bukan mustahil negara akan melepaskan
 sebagian kemerdekaan tersebut. Sangat besar kemungkinan, teknologi yang dimasukkan tersebut
 menimbulkan ketergantungan teknologi (technological dependency). Hal ini tidak sehat bagi
 perekonomian Negara Dunia Ketiga. Negara Dunia Ketiga sekadar menjadi sandera dari
 pemasaran teknologi asing. Negara-negara maju dan perusahaan multinasional akan menjadikan
 kekayaan negara berkembang sebagai sasaran pemasaran teknologinya.

 Dilema ketiga adalah apabila ketergantungan teknologi ini sudah semakin tinggi, maka kreativitas
 masyarakat dan anak sekolah akan merosot. Kemalasan untuk bersusah payah pun muncul.
 Akibat yang paling jelek adalah berkurangnya lapangan pekerjaan sehingga terjadi pemutusan
 hubungan  kerja (PHK) dan meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan. Inilah wajah
 tidak manusiawi dari alih teknologi.
 Selain dilema-dilema yang dihadapi sebagaimana yang tercantum di atas, dalam alih teknologi
 itu sendiri sebenarnya mengandung pertentangan nilai yang tak terelakkan, seperti yang ditunjukkan
 oleh Denis Goulet (1977) berikut:
 Teknologi dianggap sebagai pedang bermata dua, sebagai pengembang sekaligus penghancur
 nilai-nilai. Dalam hal ini, alih teknologi dari Barat tentu saja membawa serta nilai-nilai dan
 pandangan hidup barat.
  • Nilai pertama adalah rasionalitas. Dalam sudut pandang teknologi Barat, yang dimaksud
    rasional adalah melihat segala permasalahan dapat dipecah-pecah menjadi bagian-bagian,
    disusun kembali, dimanipulasi melalui cara-cara praktis, dan diukur dampak-dampaknya.
    Padahal, nilai-nilai tradisional Negara Dunia Ketiga banyak memasukkan aspek-aspek
    yang tidak mungkin dijawab melalui rasionalitas Barat semacam itu, dan nilai-nilai tradisional
    tersebut telah melekat dalam kehidupan masyarakat Negara Dunia Ketiga dan dipegang
    sebagai sebuah kepercayaan.
  • Nilai kedua adalah efisiensi. Efisiensi memiliki keterkaitan erat dengan konsep dari industri
    yaitu produktivitas. Naik turunnya efisiensi dapat diukur melalui tingkat produktivitas.
    Produktivitas menilai segala sesuatu dari hasil atau output, dibandingkan dengan input
    yang diperlukan untuk menghasilkannya. Produktivitas dihitung dari seberapa banyak
    produk bila dibandingkan dengan investasi yang dikeluarkan untuk tenaga kerja, modal,
    mesin, dan waktu.
  • Nilai ketiga adalah mengutamakan pemecahan masalah secara teknis tanpa memperhatikan
    aspek alam atau manusiawi. Inginnya segala sesuatu dapat diselesaikan, sehingga tidak
    memberi waktu terhadap kontemplasi dan harmonisasi dengan alam. Juga mengembangkan
    perilaku acuh, pasif, dan penolakan terhadap masalah-masalah yang dihadapi.
  • Nilai keempat adalah menganggap kekuatan alam sebagai objek yang harus dipergunakan
    untuk sebesar-besar kepentingan manusia. Padahal sebagian besar nilai-nilai tradisional
    sangat mengutamakan hubungan yang harmonis dengan alam untuk menghindari dampak
    buruk yang dapat ditimbulkan.

   Demikianlah terjadi berbagai pertentangan nilai dalam alih teknologi, tetapi tetap saja Negara
   Dunia Ketiga menutup mata dan bersikukuh untuk melakukan alih teknologi.
         Jenis-jenis Alih Teknologi
                   Alih teknologi sering secara sembrono diartikan sebagai proses untuk menjadikan
   Negara Dunia Berkembang ikut menguasai teknologi sebagaimana yang terjadi pada negara
   maju. Tetapi, sesungguhnya bagaimanakah cara teknologi tersebut dialihkan?
   Yang dimaksud dengan alih teknologi sebenarnya tak lain dan tak bukan adalah transaksi
   ekonomi untuk kepentingan dagang.
                  Ini terlihat dari jenis-jenis dan cara-cara alih teknologi. Korporasi transnasional
   menjadi aktor kunci dalam proses ini. Anthony I. Akubue “Technology Transfer: A Third
   World Perspective” menjelaskan jenis-jenis alih teknologi. Yang sering terjadi antara lain:
                  Foreign Direct Investment, yaitu investasi jangka panjang yang ditanamkan
   oleh perusahaan asing. Investor memegang kendali atas pengelolaan aset dan produksi.
   Untuk menarik minat investor asing, Negara Dunia Ketiga menjalankan berbagai kebijakan
   seperti liberalisasi, privatisasi, menjaga stabilitas politik, dan meminimalkan campur tangan
   pemerintah. Padahal, kepemilikan asing atas modal sama saja dengan membentangkan jalan
   lebar menuju keuntungan dan pelayanan bagi korporasi transnasional. Mereka
   mengeksploitasi banyak keuntungan dengan resiko yang ditanggung oleh Negara Dunia
   Ketiga. Bayangan mengenai terjadinya alih teknologi dan pengembangan teknologi
   pribumi dirasakan sebagai impian yang terlalu muluk.
                  Joint Ventures, yaitu kerjasama (partnership) antara perusahaan yang berasal
  dari negara yang berbeda dengan tujuan mendapat keuntungan. Dalam model seperti ini,
  kepemilikan diperhitungkan berdasarkan saham yang dimiliki. Jenis alih teknologi ini
  menjadi menarik sebab perusahaan-perusahaan asing dapat menghindari terjadinya
  nasionalisasi atas perusahaan. Perlu diketahui bahwa dalam model FDI
  (Foreign Direct Investment) resiko terjadinya nasionalisasi secara tiba-tiba adalah
  cukup tinggi. Selain itu investor asing juga merasa riskan bila harus melakukan
  joint ventures dengan perusahaan nasional Negara Dunia Ketiga.
                  Licensing Agreements, yaitu izin dari sebuah perusahaan kepada perusahaan-
  perusahaan lain untuk menggunakan nama dagangnya (brand name), merek, teknologi,
  paten, hak cipta, atau keahlian-keahlian lainnya. Pemegang lisensi harus beroperasi
  di bawah kondisi dan ketentuan tertentu, termasuk dalam hal pembayaran upah dan royalti.
  Biasanya cara ini digunakan oleh perusahaan asing dengan mitra Negara Dunia Ketiga.
  Cara ini adalah yang paling memungkinkan terjadinya alih pembayaran atau larinya
  modal dari Negara Dunia Ketiga kepada perusahaan-perusahaan asing.
                 Turnkey Projects, yaitu membangun infrastruktur dan konstruksi yang diperlukan
 perusahaan asing untuk menyelenggarakan proses produksi di Negara Dunia Ketiga.
 Bila segala fasilitas telah siap dioperasikan, perusahaan asing menyerahkan ‘kunci’
 kepada perusahaan domestik atau organisasi lainnya. Perusahaan asing juga menyelenggarakan
 pelatihan pekerja dalam negeri agar suatu saat dapat mengambil alih segenap proses produksi
 yang dibutuhkan. Kecil kemungkinan terjadi alih teknologi sebab perusahaan domestik hanya
 bisa mengoperasikan tanpa mengerti kepentingan pengembangan teknologi tersebut.
 Perusahaan domestik juga tidak bisa membangunnya, sehingga peran mereka sekadar
 menjadi budak suruhan.
                Mengingat watak dasar perusahaan (termasuk korporasi transnasional) yang
 mengutamakan pencarian laba sebagai motif kepentingannya, cita-cita pembebasan
 kemanusiaan melalui teknologi menjadi kepentingan nomor sekian.
 Adakah Alih Teknologi?
                Kenyataan semacam itu tentu membuyarkan mimpi Negara Dunia Ketiga
 mengenai proses yang disebut sebagai ‘alih teknologi’. Dalam tulisan yang sama di Prisma,
 Todung Mulya Lubis merasa perlu mempertanyakan ulang, benarkah alih teknologi
 sedang terjadi? Jika jawabannya adalah tidak, maka apakah yang sesungguhnya
 sedang terjadi? Argumen yang mendasari pertanyaan tersebut antara lain adalah:
  • Pertama, belum adanya UU Paten yang mengatur apakah teknologi yang masuk setelah
    jangka waktu tertentu akan menjadi milik umum (public domain).
  • Kedua, berbagai kontrak yang dibuat PT PMA atau PT PMDN dengan perusahaan-
    perusahaan asing mengenai teknologi tersebut tidak menjamin terjadinya alih teknologi.
    Pengetahuan mengenai berbagai kontrak itu sangat miskin, tidak tahu apa saja isi
    kontrak-kontrak tersebut karena tidak ada kewajiban untuk mengumumkan isi kontrak
    itu kepada pemerintah, apalagi kepada umum.
  • Ketiga, kalaupun ada UU Paten dan kontrak-kontrak alih teknologi, hanya dijadikan
    sarana untuk masuk ke pasaran domestik. Pengusaha asing dengan berbagai upayanya mempertahankan patennya melalui berbagai modifikasi sehingga paten tersebut tidak
    jatuh menjadi public domain. Ada keengganan besar pada pemilik paten asing ini
    untuk mengalihkan teknologinya.
  • Keempat, mekanisme kontrol terhadap alih teknologi relatif lemah. Dan,
  • Kelima, mitra bisnis yang sepadan di dalam negeri belum cukup tersedia.

 Lalu, bila alih teknologi disangsikan telah terjadi, maka proses apakah sebenarnya yang
 tengah berlangsung dan digembar-gemborkan selama ini?

SUMBER : https://nadya.wordpress.com/tag/alih-teknologi/

TUGAS 1 ( HUKUM PERBURUHAN )

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
A.    PENGERTIAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)

        Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau Hak Milik Intelektual (HMI) atau 
        harta intelek (di Malaysia) ini merupakan padanan dari bahasa Inggris Intellectual Property Right.
        Kata “intelektual” tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut adalah kecerdasan,
        daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of the Human Mind) (WIPO, 1988:3).
   
        Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah hak eksklusif Yang diberikan suatu peraturan kepada
        seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Secara sederhana HAKI mencakup
        Hak Cipta, Hak Paten Dan Hak Merk. Namun jika dilihat lebih rinci HAKI merupakan bagian dari
        benda (Saidin : 1995), yaitu benda tidak berwujud (benda imateriil).
     
        Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) termasuk dalam bagian hak atas benda tak berwujud
        (seperti Paten, merek, Dan hak cipta). Hak Atas Kekayaan Intelektual sifatnya berwujud, berupa
        informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra, keterampilan dan sebagainya yang tidak
        mempunyai bentuk tertentu.

B.     PRINSIP – PRINSIP HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

         Prinsip – prinsip Hak Kekayaan Intelektual :
         1.  Prinsip Ekonomi.
              Prinsip ekonomi, yakni hak intelektual berasal dari kegiatan kreatif suatu kemauan daya pikir
              manusia yang diekspresikan dalam berbagai bentuk yang akan memeberikan keuntungan
              kepada pemilik yang bersangkutan.

        2.  Prinsip Keadilan.
             Prinsip keadilan, yakni di dalam menciptakan sebuah karya atau orang yang bekerja
             membuahkan suatu hasil dari kemampuan intelektual dalam ilmu pengetahuan, seni,
             dan sastra yang akan mendapat perlindungan dalam pemiliknya.
          
        3.  Prinsip Kebudayaan.
             Prinsip kebudayaan, yakni perkembangan ilmu pengetahuan, sastra, dan seni untuk
             meningkatkan kehidupan manusia.

        4.  Prinsip Sosial
             Prinsip sosial ( mengatur kepentingan manusia sebagai warga Negara ), artinya
             hak yang diakui oleh hukum dan telah diberikan kepada individu merupakan satu
             kesatuan sehingga perlindungan diberikan bedasarkan keseimbangan kepentingan
             individu dan masyarakat.

C.    KLASIFIKASI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
        Berdasarkan WIPO hak atas kekayaan intelaktual dapat dibagi menjadi dua bagian,
        yaitu hak cipta ( copyright ) , dan hak kekayaan industri (industrial property right).
        Hak kekayaan industry ( industrial property right ) adalah hak yang mengatur segala sesuatu
        tentang milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum.

        Hak kekayaan industry ( industrial property right ) berdasarkan pasal 1 Konvensi Paris mengenai
        perlindungan Hak Kekayaan Industri Tahun 1883 yang telah di amandemen pada tanggal
        2 Oktober 1979, meliputi :
           1. Paten
           2. Merek
           3. Varietas tanaman
           4. Rahasia dagang
           5. Desain industry
           6. Desain tata letak sirkuit terpadu

D.    DASAR HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

  • UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
  • UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
  • UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
  • UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
E.    HAK CIPTA

       Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya.
       Termasuk ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra dan seni.
     
       Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta :

       Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
       memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan -
       pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 1 ayat 1)

       Hak cipta diberikan terhadap ciptaan dalam ruang lingkup bidang ilmu pengetahuan, kesenian, dan
       kesusasteraan. Hak cipta hanya diberikan secara eksklusif kepada pencipta, yaitu “seorang atau
       beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan
       pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas
       dan bersifat pribadi”.

      Dasar Hukum HAK CIPTA :

  • UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
  • UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
  • UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
  • UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
F.   HAK PATEN

       Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001:
  • Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya (Pasal 1 Ayat 1).
  • Hak khusus yang diberikan negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya (Pasal 1 Undang-undang Paten).
  • Paten diberikan dalam ruang lingkup bidang teknologi, yaitu ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam proses industri. Di samping paten, dikenal pula paten sederhana (utility models) yang hampir sama dengan paten, tetapi memiliki syarat-syarat perlindungan yang lebih sederhana. Paten dan paten sederhana di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Paten (UUP).
  • Paten hanya diberikan negara kepada penemu yang telah menemukan suatu penemuan (baru) di bidang teknologi. Yang dimaksud dengan penemuanadalah kegiatan pemecahan masalah tertentu di bidang teknologi yang berupa :
       1. Proses;
       2. Asil produksi;
       3. Penyempurnaan dan pengembangan proses;
       4. Penyempurnaan dan pengembangan hasil produksi

         Dasar Hukum HAK PATEN :
  • UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 39)
  • UU Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 30)
  • UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 109)

G.    HAK MERK

        Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 :
        Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka- angka,
        susunan warna, atau kombinasi dari unsur- unsur tersebut yang memiliki daya pembeda
        dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. (Pasal 1 Ayat 1)
        Merek merupakan tanda yang digunakan untuk membedakan produk (barang dan atau jasa)
        tertentu dengan yang lainnya dalam rangka memperlancar perdagangan, menjaga kualitas, dan
        melindungi produsen dan konsumen.
        Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna
       atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam
       kegiatan perdagangan barang atau jasa (Pasal 1 Undang-undang Merek).
       Istilah – Istilah Merk :
  • Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.
  • Merek jasa yaitu merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
  • Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau jasa sejenis lainnya.
  • Hak atas merek adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu, menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya.
         Dasar Hukum HAK MERK :
  • UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 81)
  • UU Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 31)
  • UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 110)
 Sumber :
 http://id.wikipedia.org/wiki/Kekayaan_intelektual

 http://id.shvoong.com/society-and-news/news-items/2064377-seputar-hak-kekayaan-intelektual-haki/